Tiba-Tiba Mondok #02 #Buah Kesabaran#

 


Tiba-tiba Mondok #02

Pino Bahari

Tinggalkan Komentar


BUAH KESABARAN

            Di saat hari mulai menampakkan malamnya, Sambas terlihat lebih indah. Cahaya lampu yang mulai menyala dari jalan-jalan, purnama yang menyambut gelap nya malam menambah keindahan Sambas di waktu senja. Terdengar suara tawa anak-anak yang berjalan bersama menuju masjid-masjid, tangan mungil mereka memegangi Al qur’an dengan erat, mengingatkan Ali dengan masa kecilnya beberapa tahun silam.

            Setelah menunaikan salat magrib, Ali duduk di depan masjid keraton Sambas, ia teringat peristiwa beberapa minggu yang lalu, peristiwa yang sempat membuatnya terenyuh. Ali yang dikenal sebagai siswa unggulan di sekolahnya ternyata tidak lulus saat tes masuk SMA. Untung saja sejak kecil Ali sudah dipahamkan tentang takdir yang harus dia terima dengan lapanng dada.

            Belum lama Ali duduk menikmati keindahan sungai sambas, tiba-tiba Ahmad datang dengan napas tersengal-sengal.

            “Ada apa, Mad? Seperti habis dikejar warga sekampung saja.”

            Ahamad perlahan mengatur napas nya.

            “Aku diminta ibumu untuk mencarimu, Li. Ibumu memintamu untuk segera pulang, jangan tanya alasannya, aku sendiri juga tidak tahu.”

            “Ya sudah, aku pulang dulu. Kamu sendiri mau kemana setelah ini, Mad?”

            “Aku ikut denganmu saja, siapa tahu ibumu sedang masak enak malam ini, haha.”

Sampai didepan rumah, Ali heran kenapa ada banyak orang di rumahnya, ia lalu mempercepat langkahnya yang juga diikuti oleh Ahmad.

            “Oh, ada tamu dari jauh rupanya, sudah lama sampainya bang Dika?”

            Dika adalah salah satu sepupunya yang tinggal di Singkawang. Ibunya menikah dengan pria asal Singkawang.

            “Kita sampai sebelum magrib, Li. Mungkin tadi kamu sudah berangkat ke masjid.”

            Ali terkejut dengan kedatangan keluarganya dari Singkawang yang sudah lama tidak berkunjung ke rumahnya. Segera Ali menyalami seluruh isi ruangan yang diikuti oleh Ahmad.

            “Aku pulang saja ya, Li.” Ahmad berbisik kepada Ali.

            “Jangan, Mad. Ibuku pasti sudah masak enak  seperti yang kamu harapkan tadi. Sudahlah jangan malu-malu, kamu ini seperti orang baru kenal saja.”

Ali dan Ahmad kemudian ikut duduk bersama orang-orang yang ada diruangan. Tak lama kemudian ibnuya muncul dari arah dapur.

            “Ayo semuanya, makan malamnya sudah siap, mari kita makan malam dulu.”

            Tidak lengkap bagi orang Sambas jika menyambut tamu tanpa mengajaknya makan bersama.

            Di meja makan sudah terhidangkan berbagai macam masakan khas Kota Sambas. Ada bubur pedas (campuran dari berbagai jenis sayur yang dihaluskan), nasi panas, sup daging gerinang, tumis pakis, tumis rebung, ikan asin, paddak (sejenis sambal berbahan dasar udang yang di fermentasi), dan sambal belacan yang tidak boleh ketinggalan.

            “Ayo semuanya, kita santap makanannya. Oh iya, perkenalkan ini Ahmad, sahabatku dari kecil.”

            Ahamad pun melempar senyuman kepada semua orang yang sudah duduk di ruang makan.

Semuannya mulai mengambil menu kesukaannya, Ahmad mengambil sedikit nasi dengan sup daging gerinang ditambah tumis pakis, saat itu ia tidak mengambil sambal belacan. Dika mengambil bubur pedas kesukaannya. Ali sendiri mengambil nasi panas ditambah tumis rebung dan paddak. Tak lupa ia menambahkan sedikit sambal belacan. Semua orang makan dengan lahap dan sesekali sambil berbincang.

Semua selesai makan dibarengi dengan azan isya. Ali, Ahmad, dan Dika bergegas menuju masjid.

Selesai sholat Ali mengajak Dika dan Ahmad duduk di tepian sungai Sambas, Dika selalu kagum dengan keindahan sungai sambas.

“Setiap aku ke sini, keindahan sungai Sambas tidak pernah berkurang sedikitpun, bahkan bertambah semakin indah.”

“Benar bang Dika, aku yang setiap hari duduk di sini tidak pernah bosan memandanginya, benar kan, Mad?”

Ahmad menganggukkan  kepalanya.

“Oh iya, Li, seingatku sekarang kamu harusnya sudah lulus SMP, selanjutnya mau sekolah dimana?”

Mendengar pertanyaan Dika, Ali terdiam sejenak. Ingatannya berkelebat pada peristiwa yang membuatnya sedih itu.

“Benar bang, aku dan Ahmad sudah lulus SMP. Beberapa mnggu lalu kami mendaftar di SMA 02 Sambas, alhamdulillah Ahmad diterima, sementara aku tidak.”

“Oh begitu,,, tidak apa-apa, mungkin Allah punya rencana yang lebih baik untukmu. Lalu selanjutnya bagaimana?”

“Aku sendiri juga belum tahu bang”

“Oh iya, tadi bang Dika bilang sedang belajar di Pesantren ya?” Ahmad melempar pertanyaan.

“Iya benar, aku sekarang masih kelas 2 MA di Pesantren, bagaimana kalau kamu masuk Pesantren saja, Li?” jawab Dika dengan spontan.

Ali seperti mendapat angin segar mendengar jawaban dari Dika.

“Benar juga ya Bang, tapi syaratnya apa tidak sulit? Sedangakan aku lulusan SMP yang tidak banyak tahu tentang ilmu agama Islam.”

“Jangan khawatir, Li. Yang penting kamu bisa membaca Al qur’an, bahkan ada yang belum bisa membaca tapi bisa masuk, yang penting punya kesungguhan untuk belajar.”

“Kalau kamu jadi masuk Pesantren, Li, nampaknya aku akan ikut denganmu.”

“Wah, yang benar saja kamu, Mad? Apa tidak sayang sudah diterima di SMA 02 Sambas?”

In sya Allah tidak, Li. Masak mau belajar agama harus menyesal, aku sangat senang jika bisa satu sekolah lagi denganmu.”

“Baik kalau begitu, silahkan dipikirkan matang-matang, jangan lupa shalat istikharah, meminta petunjuk kepada Allah.”

“Baik bang, kalau begitu kita pulang dulu, sudah hampir dua jam kita duduk disini.”

“Tidak terasa ya, Li.” sahut Ahmad sambil melirik ke arlojinya.

Mereka pun pulang.

 

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscahya Allah akan membukakan jalan keluaar baginya.” (QS. Ath Thalaq : 2).

 

Alhamdulillah selesai part 2.

Mau dilanjut ga ceritanya? Hehe.

 


Komentar